BLOGGER TEMPLATES AND Blogger Templates »

Sabtu, 29 Januari 2011

sistem pendidikan di Malaysia

Malaysia, Singapura dan Cina ternyata masih menerapkan metode Standarisasi Test atau lebih kita kenal dengan Ujian Akhir Negeri (UAN) disekolah-sekolah kita. Tujuan UAN sebenarnya hanya ingin meningkatkan 'nilai' kecerdasan kepada siswa-siswanya, namun karena UAN jugalah, jumlah siswa yang putus sekolah masih banyak. Tapi Indonesia memiliki Paket A, B dan C sebagai alternatif setelah putus sekolah, sedangkan ketiga negara asia tersebut lebih berkonsentrasi pada Homeschooling bagi yang masih berusia remaja dan Nightschooling bagi dewasa.

Kita mulai dengan Malaysia, dari hasil diskusi saya dengan beberapa pengguna internet dari Malaysia di forum diskusi online milik mereka, ada beberapa informasi yang bisa saya bandingkan dengan sistem pendidikan kita. Contohnya, dalam mata pelajaran Bahasa, di Negara kita hanya Bahasa Indonesia saja yang terus-menerus ditekankan dan diajarkan kepada siswa kita. Memang dibeberapa sekolah swasta, selain Bahasa Indonesia, Bahasa Arab juga ikut dimasukkan dalam kurikulum terutama sekolah-sekolah Islam dan Pesantren. Di sekolah Negeri, Pelajaran Bahasa Asing seperti bahasa inggris hanya menjadi prioritas ketika berada ditingkat Menengah Pertama dan seterusnya, sedangkan tingkat Sekolah Dasar belum. Malaysia menerapkan standar pelajaran Bahasa Inggris mulai dikenalkan kepada siswa dari tingkat Pre-School atau dalam sistem kita disebut Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
Â
Walau ada beberapa PAUD yang kini ikut mengajarkan Bahasa Inggris tetapi ketika beranjak ke Sekolah Dasar (SD) mereka tidak diwajibkan mempelajari Bahasa Inggris karena tidak termasuk Kurikulum SD. Setelah naik ketingkat selanjutnya Sekolah Menengah Pertama (SMP) Kurikulum Bahasa Inggris lalu disertakan. Boleh dibilang, ketika SD siswa akan melupakan 'ilmu' Bahasa Inggris mereka. Sedangkan Malaysia, kecakapan Bahasa Asing mereka justru ditingkatkan jumlahnya ketika tingkatan sekolah mereka juga bertambah. Pada Primary School atau tingkat SD, pelajaran Bahasa Asing ditambah dengan Bahasa Cina dan India. Tahun 2003 lalu, pemerintah Malaysia kembali meningkatkan proses pembelajaran Bahasa Asing mereka dengan membuat kurikulum pelajaran Matematika, Biologi, Fisika dan Kimia dengan proses belajar mengajarnya harus menggunakan Bahasa Inggris.
Kata beberapa teman diskusi forum online dari Malaysia, peraturan tersebut sempat menuai kritik karena dianggap sebagai bentuk diskriminasi terhadap siswa yang fasih berbahasa inggris dengan yang tidak. Hampir sama seperti tingkat SD di sekolah kita, Malaysia juga menerapkan sistem yang mirip dengan sistem 6 kelas kita, sesuai usia mereka dari usia 7 sampai 12 tahun. Pada tahap akhir Primary-School mereka juga menerapkan ujian akhir yang mereka sebut Ujian Pencapaian Sekolah Rendah (UPSR) untuk memasuki pendidikan tahapan selanjutnya yaitu Secondary-School atau gabungan Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Â
Secondary-School terdiri dari 5 tingkatan dan biasanya tiap tingkatan berlangsung selama satu tahun, setiap tingkatan diwajibkan melakukan Ujian untuk naik ketingkat selanjutnya dan akan tetap tinggal jika tidak lulus Ujian untuk mengulang tingkatannya. Ketika siswa telah berada di tingkatan 3, mereka harus mengambil Ujian yang mereka sebut Penilaian Menengah Rendah (PMR) hampir sama dengan yang kita lakukan pada siswa kelas 3 SMP untuk Ujian Akhir mereka. Hanya saja jika lulus ujian, siswa Malaysia masuk ketingkatan 4 disekolah yang sama. Pada tahap tersebut mereka harus memilih dua jalur pelajaran apakah Sains atau Seni, pelajaran tersebut diambil selama 2 tingkatan dengan waktu 1 tahun ditiap tingkatan. Sedangkan siswa SMA kita, mengambil jalur IPA atau IPS dan belajar selama 3 tingkatan dengan waktu 1 tahun untuk tiap tingkatan. Untuk lulus dari Secondary-School, pada tingkat 5 mereka diwajibkan mengambil Sijil Pelajaran Malaysia (SPM) sama seperti siswa kita kelas 3 SMA yang harus mengikuti Ujian Akhir Negeri untuk lulus SMA.
Â
Namun SPM ternyata lebih kompleks daripada UAN kita, karena SPM berdasarkan pendidikan peninggalan penjajah Inggris, sehingga ketika peserta diskusi forum online menjelaskan model sistemnya, saya benar-benar tidak mengerti karena terjadi perubahan-perubahan sistem pendidikan untuk SPM yang banyak sekali, dari tahun 2003 sampai tahun 2006. Pada awal perkembangan sistem pendidikan Malaysia pasca Kemerdekaan mereka, dikatakan bahwa lulusan SPM saat itu adalah orang-orang yang ahli debat, seniman drama, olahragawan bahkan Kepanduan atau Pramuka. Sedangkan lulusan SPM sekarang sama sekali tidak mengerti berdebat, tidak bisa memahami tulisan kaki sebuah jurnal, bahkan tulisan tangan mereka buruk sekali. Semua kesalahan tersebut terletak pada banyaknya standar kelulusan SPM yang harus di ikuti padahal isinya hanya mengejar nilai, bukan membentuk karakter seseorang menjadi lebih ahli. Mungkin sama seperti sistem pendidikan kita, siswa kita hanya dikejar-kejar standar kelulusan yang tinggi tanpa memperhatikan pembentukan atau kaderisasi jiwa, pikiran dan moral mereka.

Ekstrakulikuler diwajibkan kepada siswa Secondary-School saja dan minimal harus mengambil dua cabang ekstrakulikuler yang terdiri dari empat kategori; Kelompok Intra, Seni Pertunjukan, Olahraga dan Klub Sosial. Setiap kompetisi dan pertunjukkan dilaksanakan dengan terjadwal sekali. Setelah lulus di tingkat Secondary-School, siswa Malaysia bisa langsung melanjutkan pendidikan mereka ke sekolah tinggi atau universitas.

Perhatian pemerintah Malaysia terhadap masalah pendidikan memang sangat ketat dan sistematis, tenaga pengajar saja harus dimasukkan dahulu ke universitas khusus bagi Guru. Dan jangan ditanya tentang gaji para guru di Malaysia beserta tunjangan-tunjangannya, sangat jauh lebih besar dibandingkan gaji guru PNS di Indonesia. Ketatnya perhatian pemerintah Malaysia terhadap sistem pendidikan mereka dapat diukur dari tidak hanya dalam pembangunan fisik pendidikan mereka saja, tetapi dari banyaknya perubahan-perubahan sistem yang mereka lakukan, dan perubahan tersebut selalu berdampak positif bagi manajemen sistem pendidikan mereka juga

0 komentar: