Kata rabies berasal dari bahasa Sansekerta kuno rabhas yang artinya melakukan kekerasan/kejahatan.[3] Dalam bahasa Yunani, rabies disebut Lyssa atau Lytaa yang artinya kegilaan. [3] Dalam bahasa Jerman, rabies disebut tollwut yang berasal dari bahasa Indojerman Dhvar yang artinya merusak dan wut yang artinya marah. [3] Dalam bahasa Prancis, rabies disebut rage berasal dari kata benda robere yang artinya menjadi gila.[3]
Rabies bukanlah penyakit baru dalam sejarah perabadan manusia.
[4] Catatan tertulis mengenai perilaku anjing yang tiba-tiba menjadi buas ditemukan pada
Kode Mesopotamia yang ditulis 4000 tahun lalu serta pada Kode
Babilonia Eshunna yang ditulis pada
2300 SM.
[4] Democritus pada
500 SM juga menuliskan karakteristik gejala penyakit yang menyerupai rabies.
[2]
Aristotle, pada
400 SM, menulis di
Natural History of Animals edisi 8, bab 22
[5]
“ | .... anjing itu menjadi gila. Hal ini menyebabkan mereka menjadi agresif dan semua binatang yang digigitnya juga mengalami sakit yang sama. | ” |
Hippocrates,
Plutarch,
Xenophon,
Epimarcus,
Virgil,
Horace, dan
Ovid adalah orang-orang yang pernah menyinggung karakteristik rabies dalam tulisan-tulisannya.
[5] Celsius, seorang
dokter di zaman
Romawi, mengasosiasikan
hidrofobia (ketakutan terhadap
air) dengan gigitan anjing, di tahun 100 Masehi.
[4] Cardanus, seorang penulis zaman
Romawi menjelaskan sifat
infeksi yang ada di air
liur anjing yang terkena rabies.
[5] Pada penulis Romawi zaman itu mendeskripsikan rabies sebagai
racun, yang mana adalah kata
Latin bagi virus.
[5] Pliny dan Ovid adalah orang yang pertama menjelaskan penyebab lain dari rabies, yang saat itu disebut
cacing lidah anjing (
dog tongue worm).
[5] Untuk mencegah rabies di masa itu, permukaan
lidah yang diduga mengandung "
cacing" dipotong.
[5] Anggapan tersebut bertahan sampai abad 19, ketika akhirnya
Louis Pasteur berhasil mendemonstrasikan penyebaran rabies dengan menumbuhkan jaringan
otak yang terinfeksi di tahun
1885 [5] Goldwasser dan Kissling menemukan cara diagnosis rabies secara modern pada tahun
1958, yaitu dengan teknik
antibodi imunofluoresens untuk menemukan
antigen rabies pada
jaringan.
[4]
Rabies disebabkan oleh virus rabies yang masuk ke keluarga
Rhabdoviridae dan
genus Lysavirus.
[6] Karakteristik utama virus keluarga
Rhabdoviridae adalah hanya memiliki satu utas negatif
RNA yang tidak bersegmen.
[6] Virus ini hidup pada beberapa jenis hewan yang berperan sebagai perantara penularan.
[7] Spesies hewan perantara bervariasi pada berbagai letak
geografis.
[7] Hewan-hewan yang diketahui dapat menjadi perantara rabies antara lain
rakun (
Procyon lotor) dan
sigung (
Memphitis memphitis) di
Amerika Utara,
rubah merah (
Vulpes vulpes) di
Eropa, dan anjing di
Afrika,
Asia, dan
Amerika Latin.
Afrika, Asia, dan Amerika Latin memiliki tingkat rabies yang masih tinggi
[7] Hewan perantara menginfeksi inang yang bisa berupa hewan lain atau manusia melalui gigitan.
[2][1] Infeksi juga dapat terjadi melalui jilatan hewan perantara pada
kulit yang terluka.
[2][1] Setelah infeksi, virus akan masuk melalui saraf-saraf menuju ke
sumsum tulang belakang dan otak dan bereplikasi di sana.
[2] Selanjutnya virus akan berpindah lagi melalui saraf ke jaringan non saraf, misalnya kelenjar liur dan masuk ke dalam air liur.
[2] Hewan yang terinfeksi bisa mengalami rabies buas/ ganas ataupun rabies jinak/ tenang.
[8] [9] Pada rabies buas/ ganas, hewan yang terinfeksi tampak
galak, agresif, menggigit dan menelan segala macam barang, air liur terus menetes, meraung-raung gelisah kemudian menjadi
lumpuh dan mati.
[8][9] Pada rabies jinak/tenang, hewan yang terinfeksi mengalami kelumpuhan lokal atau kelumpuhan total, suka bersembunyi di tempat gelap, mengalami
kejang dan sulit bernapas, serta menunjukkan kegalakan
[8][9]
Meskipun sangat jarang terjadi, rabies bisa ditularkan melalui penghirupan
udara yang tercemar
virus rabies.
[10] Dua pekerja
laboratorium telah mengkonfirmasi hal ini setelah mereka terekspos udara yang mengandung virus rabies.
[10] Pada tahun
1950, dilaporkan dua kasus rabies terjadi pada penjelajah gua di
Frio Cave,
Texas yang menghirup
udara di mana ada jutaan kelelawar hidup di tempat tersebut.
[10] Mereka diduga tertular lewat udara karena tidak ditemukan sama sekali adanya tanda-tanda bekas gigitan kelelawar.
[10]
[sunting] Manifestasi Klinis
Seorang penderita rabies di tahun
1959 Gejala rabies biasanya mulai timbul dalam waktu 30-50 hari setelah terinfeksi.
[11] Masa inkubasi virus hingga munculnya penyakit adalah 10-14 hari pada anjing tetapi bisa mencapai 9 bulan pada manusia
[1] Bila disebabkan oleh gigitan anjing, luka yang memiliki risiko tinggi meliputi infeksi pada
mukosa, luka di atas daerah
bahu (
kepala,
muka,
leher), luka pada
jari tangan atau kaki, luka pada
kelamin, luka yang lebar atau dalam, dan luka yang banyak.
[9] Sedangkan luka dengan risiko rendah meliputi jilatan pada kulit yang luka, garukan atau lecet, serta luka kecil di sekitar
tangan,
badan, dan
kaki.
[9]
Gejala sakit yang akan dialami seseorang yang terinfeksi rabies meliputi 4 stadium:
[9]
[sunting] Stadium prodromal
Dalam stadium prodomal sakit yang timbul pada penderita tidak khas, menyerupai infeksi virus pada umumnya yang meliputi
demam, sulit makan yang menuju taraf
anoreksia,
pusing dan pening (
nausea), dan lain sebagainya.
[9]
[sunting] Stadium sensoris
Dalam stadium sensori penderita umumnya akan mengalami rasa
nyeri pada daerah luka gigitan, panas, gugup, kebingungan, keluar banyak air liur (
hipersalivasi),
dilatasi pupil,
hiperhidrosis,
hiperlakrimasi.
[9]
[sunting] Stadium eksitasi
Pada stadium eksitasi penderita menjadi gelisah, mudah kaget, kejang-kejang setiap ada rangsangan dari luar sehingga terjadi ketakutan pada udara (
aerofobia), ketakutan pada
cahaya (
fotofobia), dan ketakutan air (
hidrofobia).
[9] Kejang-kejang terjadi akibat adanya gangguan daerah
otak yang mengatur proses menelan dan pernapasan.
[8] Hidrofobia yang terjadi pada penderita rabies terutama karena adanya rasa
sakit yang luar biasa di kala berusaha menelan air
[8]
[sunting] Stadium paralitik
Pada stadium paralitik setelah melalui ketiga stadium sebelumnya, penderita memasuki stadium paralitik ini menunjukkan tanda kelumpuhan dari bagian atas tubuh ke bawah yang progresif.
[9]
Karena durasi penyebaran penyakit yang cukup cepat maka umumnya keempat stadium di atas tidak dapat dibedakan dengan jelas.
[9] Gejala-gejala yang tampak jelas pada penderita di antaranya adanya nyeri pada
luka bekas gigitan dan ketakutan pada air, udara, dan cahaya, serta
suara yang keras.
[9] Sedangkan pada hewan yang terinfeksi, gelaja yang tampak adalah dari jinak menjadi ganas, hewan-hewan peliharaan menjadi liar dan lupa jalan pulang, serta
ekor dilengkungkan di bawah
perut.
[9]
Jika seseorang digigit hewan, maka hewan yang menggigit harus diawasi.
[12] Satu-satunya uji yang menghasilkan keakuratan 100% terhadap adanya virus rabies adalah dengan uji antibodi fluoresensi langsung (
direct fluorescent antibody test/ dFAT) pada jaringan otak hewan yang terinfeksi.
[12] Uji ini telah digunakan lebih dari 40 tahun dan dijadikan standar dalam diagnosis rabies.
[12][13] Prinsipnya adalah ikatan antara
antigen rabies dan
antibodi spesifik yang telah dilabel dengan senyawa fluoresens yang akan berpendar sehingga memudahkan deteksi
[12] Namun, kelemahannya adalah subjek uji harus di
suntik mati terlebih dahulu (
eutanasia) sehingga tidak dapat digunakan terhadap
manusia.
[12] Akan tetapi, uji serupa tetap dapat dilakukan menggunakan
serum, cairan
sumsum tulang belakang, atau air liur penderita walaupun tidak memberikan keakuratan 100%.
[12] Selain itu, diagnosis dapat juga dilakukan dengan
biopsi kulit leher atau sel
epitel kornea mata walaupun hasilnya tidak terlalu tepat sehingga nantinya akan dilakukan kembali diagnosis
post mortem setelah hewan atau manusia yang terinfeksi meninggal.
[13]
Bila terinfeksi rabies, segera cari pertolongan medis.
[14] Rabies dapat diobati, namun harus dilakukan sedini mungkin sebelum menginfeksi otak dan menimbulkan gejala.
[14][11] Bila gejala mulai terlihat, tidak ada pengobatan untuk menyembuhkan penyakit ini.
[14] Kematian biasanya terjadi beberapa hari setelah terjadinya gejala pertama.
[14]
Jika terjadi kasus gigitan oleh hewan yang diduga terinfeksi rabies atau berpotensi rabies (
anjing,
sigung,
rakun,
rubah,
kelelawar) segera cuci luka dengan
sabun atau pelarut
lemak lain di bawah
air mengalir selama 10-15 menit lalu beri
antiseptik alkohol 70% atau
betadin.
[9] Orang-orang yang belum diimunisasi selama 10 tahun terakhir akan diberikan suntikan
tetanus.
[15] Orang-orang yang belum pernah mendapat
vaksin rabies akan diberikan suntikan globulin imun rabies yang dikombinasikan dengan vaksin.
[15] Separuh dari dosisnya disuntikkan di tempat gigitan dan separuhnya disuntikan ke otot, biasanya di daerah
pinggang.
[11] Dalam periode 28 hari diberikan 5 kali suntikan.
[11] Suntikan pertama untuk menentukan risiko adanya virus rabies akibat bekas gigitan.
[11] Sisa suntikan diberikan pada hari ke 3, 7, 14, dan 28.
[11] Kadang-kadang terjadi rasa sakit, kemerahan, bengkak, atau gatal pada tempat penyuntikan
vaksin.
[15]
Pencegahan rabies pada manusia harus dilakukan sesegera mungkin setelah terjadi gigitan oleh
hewan yang berpotensi rabies, karena bila tidak dapat mematikan (letal)
[1]
Langkah-langkah untuk mencegah rabies bisa diambil sebelum terjangkit virus atau segera setelah terkena gigitan
[7] Sebagai contoh,
vaksinasi bisa diberikan kapada orang-orang yang berisiko tinggi terhadap terjangkitnya virus, yaitu:
[16]
- Dokter hewan. [16]
- Petugas laboratorium yang menangani hewan-hewan yang terinfeksi. [16]
- Orang-orang yang menetap atau tinggal lebih dari 30 hari di daerah yang rabies pada anjing banyak ditemukan [7]
- Para penjelajah gua kelelawar. [10]
Vaksinasi idealnya dapat memberikan perlindungan seumur hidup.
[17] Tetapi seiring berjalannya waktu kadar antibodi akan menurun, sehingga orang yang berisiko tinggi terhadap rabies harus mendapatkan dosis
booster vaksinasi setiap 3 tahun.
[1] Pentingnya vaksinasi rabies terhadap hewan peliharaan seperti anjing juga merupakan salah satu cara pencegahan yang harus diperhatikan.
[11]